Senin, 31 Desember 2007

Impian Masyarakat Kecil

Ayahku seorang PNS yang memiliki pendapatan pas-pasan sedangkan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga saja. Kami berempat bersaudara. Ketika kami masih kecil ayahku mengajarkan pada kami bahwa dalam hidup di dunia ini yang terpenting pertama adalah agama , kedua adalah pendidikan . Untuk yang kedua ini orangtua kami menginginkan anaknya menjadi orang yang sukses minimal menjadi seorang sarjana. Sehingga ayahku dalam mencari nafkah dan kebutuhan pendidikan kami, rela untuk gali lubang tutup lubang yang tentunya dengan cara halal. Begitu juga dengan ibu kami yang hanya ibu rumah tangga saja mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi anak yang memiliki disiplin tinggi baik disiplin dalam beribadah maupun dalam bertingkah laku. Sekarang kami sudah dewasa dan telah menjadi apa yang diinginkan oleh kedua orangtua kami . Yang pertama seorang sarjana hukum ke-2 master gizi ke-3 sarjana pendidikan dan yang terakhir sarjana administrasi perkantoran. Tapi kedua orangtua kami tidak akan pernah menikmati kesuksesan kami, karena telah berpulang ke Rahmattullah, semoga amal ibadah orangtua kami diterima olehNya dan segala dosa-dosa diampuniNya Amin. Kami bersyukur hanya dengan restuNya lah dan lewat tangan orangtua, kami akhirnya dapat menjadi orang yang sukses dan tidak hidup terlantar.

Komitmen masyarakat kecil

Sewaktu saya masih duduk di SMP pada hari minggu saya biasa menjemput ibu membawa barang dari pasar. Kegiatan membantu ibu tidak hanya dilakukan pada saat libur, tetapi kalau persediaan minyak tanah habis, saya pergi membeli. Jarak tempat penjual minyak tanah dengan rumah kurang lebih 2 km, saya tempuh dengan sepeda, jerigen isi 22 liter diikat dibelakang. Dalam 1 minggu biasanya sudah habis terjual untuk tetangga, biasanya dibayar cash atau ada bayar kemudian. Kegiatan menjemput ibu dari pasar dan membeli minyak tanah saya lakukan sampai saya lulus SMA. Toko tempat penjual minyak tanah dari dulu sampai sekarang masih ada, usahanya sekarang malah lebih maju. Kelihatanya sekarang tidak menjual minyak lagi,tetapi lebih dikembangkan usaha utamanya yaitu batik. Pada awal dulu lebih terfokus proses pembuatan dari membatik sampai menjadi bahan batik siap pakai seperti kain jarit. Setelah 20 tahun usahanya lebih disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan menjadi sentral industri sekarang sering masuk berita koran dan televisi. Dari kegiatan yang dilakukan dengan kerja keras sekarang sudah memiliki cabang butiknya khusus batik di Bali. Dari cerita-cerita orang terdekat semua putra-putrinya berhasil semua, mengikuti jejak kedua orangtuanya mereka menjadi pengusaha sukses di kotanya.

Sabtu, 15 Desember 2007

Berinteraksi dengan Masyarakat kecil

Setiap ahkir pekan hari sabtu saya selalu di belikan bubur ayam oleh istri, bubur yang di pesan biasanya tidak pakai ayam hanya ditambah goreng bawang dan daun seledri. Sebenarnya saya lebih berselera makan nasi daripada makan bubur, karena kalau makan nasi awet kenyangnya. Jika makan bubur boleh terasa baru untuk jalan 2 meter sudah lapar lagi. Barang kali kalau makan bubur usus kita mudah dicerna, zat makanan langsung diserap sehingga yang kita rasakan cepat lapar. Kita tidak akan mengkaji secara ilmiah, dari cerita makan bubur ada hal yang menarik dari si penjual bubur terutama dari sisi daya juang untuk menghidupi keluarganya. Berangkat dari rumah jam 4.30 pagi di daerah Tambun Kab. Bekasi kurang lebih menempuh perjalanan 40 Km, sekali jalan dengan sepeda motor menuju wilayah Sunter Jakarta Utara dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Namun sungguh luar biasa dari kegiatan yang di lakukan sudah memiliki investasi kontrakan sebanyak 8 petak di daerah Tambun dan investasi tanah 1000 m2. Jadi saat ini kegiatan berjualan buburnya bukan lagi menjadi kegiatan pokok. Suatu kegiatan akan sukses kalau dilakukan dengan niat iklas, bersungguh-sungguh, terus-menerus dan pantang menyerah. Allah menjanjikan jika seseorang mau berusaha dengan gigih disertai niat yang baik dan benar maka kesuksesan akan mudah di genggam. Mudah-mudahan dari cerita pengalaman tukang bubur ini dapat dijadika inspirasi untuk menaklukan Jakarta.

Senin, 10 Desember 2007

Masyarakat kecil punya pengalaman

Kalau di rumah istri tidak sempat masak atau bosan dengan masakan di rumah biasanya pergi bersama keluarga makan di luar. Saat makan di luar memang dapat memilih sesuai dengan selera dan isi kantong . Kita dapat memilih makan di warung tenda, masakan Padang, warteg, atau di Mall bagi yang kantongnya tebal kali. Di tempat itu berbagai makanan seperti junk food , masakan Jepang, masakan Korea, steak berbagai merek atau masakan daerah tersedia berbagai macam dari karedok, gado-gado, toge goreng, sampai rica-rica dll. Di Jakarta sekarang tumbuh subur restoran dengan aneka rasa dari daerah seperti Coto Makasar, masakan daging ayam dengan berbagai macam bumbu. Masakan daging bebek, atau berbagai macam masakan dari laut ( sea Food). Masakannya ada yang asli Indonesia( di ambil dari berbagai daerah), dan dari luar negeri dengan sistem Franchice. Mengapa makanan yang dari luar negeri menjadi favorit alias banyak pengemarnya apa rahasianya ? Sebenarnya masakan Indonesia banyak juga yang bisa bersaing dari segi rasa,cara penyajian tidak kalah ok. Dari segi kebersihan sudah ada yang sesuai standar namun masih banyak yang belum , bagaimana dari segi pelayanan ? Ngomong-ngomong soal pelayanan ini yang perlu mendapatkan perhatian. Banyak rumah makan/restoran yang menyajikan siap saji (fast food) seperti warteg atau rumah makan Padang, akan tetapi banyak restoran lain penyajiannya cukup lama pernah penulis menunggu sampai 20-30 menit untuk pesan makanan, itu yang menjadi kajian untuk di perbaiki. Karena kita datang ingin cepat di layani, biasanya kita datang dalam kondisi lapar, sehingga pada saat pesanan datang sudah tidak terasa lapar lagi( tidak bernapsu ). Direstoran/ rumah makan sudah menerapkan standar layanan, kalau pesanan kita masih kurang , pelayan akan menyampaikan pesan Bp/Ibu tunggu 5 menit lagi. Namun kalau belum menerapkan standar layanan, pelayan umumnya diam baru bicara kalau kita tanya pesanan dari kita . Rasa masakan OK, kualitas layanan OK, pelangan akan berduyun duyun berdatangan mungkin anda punya ide lain ?

Jumat, 07 Desember 2007

Cerita masyarakat kecil

Setiap minggu saya selalu mendampingi istri pergi ke pasar, memang hobi saya kerjanya selalu ingin tahu. Di luar pasar banyak orang menjual berbagai makanan siap santap, tetapi kadang-kadang para penjual sering kena razia pedagang kali lima alias trantip. Terlihat pada saat tertentu di luar pasar bersih tidak ada satupun penjual ,tetapi selang beberapa hari terlihat penuh para penjual makanan siap santap seperti bubur sumsum, bubur ayam, nasi rames, soto, mie dll seperti tumbuhnya cendawan di musim hujan. Salah satu bidikan saya kebetulan kakak nitip di belikan mie kampung. Sambil membeli saya iseng-iseng bertanya mas sejak kapan jualan mie ? Masnya menjawab sudah lama kira-kira 1 tahun lebih. Gerobaknya milik sendiri? oh tidak ini semua saya tinggal pakai, pemiliknya tinggal di kelapa gading namanya Bapak Sudiran. Modal yang diperlukan berapa ? tidak perlu modal, terus yang diperlukan apa? yang penting katanya ada kemauan dan kejujuran. Sambil pesan 2 bungkus mie , saya mengorek informasi, dari keterangan mas penjual mie bosnya yang tinggal di kelapa gading asli Solo memiliki 30 gerobak. Pak Sudiran pagi-pagi jam 5 sudah keliling untuk menyuplai mie ke 30 gerobaknya yang ada di kelapa gading 27 buah, dan yang di wilayah sunter ada 3 buah gerobak. Pesanan mie hampir selesai, pertanyaan saya agak sensitif mas kalau boleh tahu berapa penghasilan dalam satu hari? Masnya menjawab kurang lebih dalam satu hari yang harus di setor 60 ribu, terus berapa yang bisa dibawa pulang? kurang lebih 80 ribu. Kata mas penjual mie namanya Abdul Rozak biasanya uang setoran di ambil tiap minggu oleh bosnya yang keliling mengambil uang setoran. Sebelum pulang mas penjual mie sedikit cerita ke saya ,pernah pagi-pagi mie sudah di kirim tinggal di jual tiba-tiba banjir mengelilingi pasar. Saya bertanya terus mienya dikemanakan? boleh dikembalikan lagi ke Pak Bos? tinggal Hp saja katanya. Dengan muka agak sedih mas penjual mie ngomong kalau sebentar lagi, akan ada penertiban semua pedangan dilarang berjualan di pagar pasar. Sambil membawa dua bungkus 2 mie saya ngomong ijin saja sama yang punya rumah di seberang jalan itu supaya tenang, oh ya kemarin sudah ngomong dan diijinkan sama pemiliknya,tapi nggak tahu oleh pak Rt boleh atau tidak? Sambil pulang jalan kaki saya membayangkan kalau satu hari 60 ribu di setor untuk tiap 1 gerobak berapa pendapatan dalam 1 minggu untuk 30 gerobak ya silahkan hitung sendiri, kalau rata-rata tiap hari dibawa pulang 80 ribu berapa pendapatan dalam 1 minggu hitung sendiri lagi. Semua kegiatan usaha selalu ada resikonya yang tidak punya izin atau jualan tidak pada tempatnya akan digusur trantip. Demikian juga yang memiliki ijin usaha resmi sama juga berisiko, kalau tidak bisa mengelola dengan baik juga akan bangkrut . Idealnya sih memiliki surat ijin usaha tapi kalau bagi masyarakat kecil boro-boro mengurus ijin yang terpenting dapur tetap ngebul, tidak nyusahin keluarga, syukur-syukur bisa menciptakan lapangan pekerjaan buat orang lain. Modalnya cukup kemauan dan kejujuran, ada kemauan selalu ada jalan, apalagi hidup di Jakarte kata bang Ben